SEJARAH
PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA
Dipresentasikan
dalam Mata Kuliah
Sejarah
Islam Indonesia
yang diampu
oleh : M. Rikza Chamami, MSI
Disusun
Oleh:
Amri
Khan
103111109
Muhammad
Nuroni
103111070
M. Nurul
Hukma Dzik
103111071
Mukharom
Ikhsan Wahid 103111072
Mukhammad
Rokhimin 103111074
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
SEJARAH PERKEMBANGAN
HAM DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Hak merupakan unsur normatif yang
melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang
lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara
individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh.
Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas
terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih
diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat
bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup
bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM
terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita
sendiri.
Maka dari itu kami akan membahas tentang
sejarah perkembangan HAM di Indonesia, dengan rumusan masalah yaitu Pengertian
Hak Asasi Manusia, Sejarah Lahirnya Hak Asasi Manusia, Perkembangan Pemikiran
HAM di Indonesia, Macam-macam Hak Asasi Manusia, dan HAM dalam Tinjauan Islam.
1.
II. PERMASALAHAN
1.
A. Apa Pengertian Hak Asasi Manusia ?
2.
B. Bagaimana Sejarah Lahirnya Hak Asasi Manusia ?
3.
C. Bagaimana Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia ?
4.
D. Apa Macam-macam Hak Asasi Manusia ?
5.
E. Bagaimana HAM dalam Tinjauan Islam ?
2.
III. PEMBAHASAN
1.
A. Pengertian Hak Asasi Manusia
Secara definitif “hak” merupakan unsur
normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan,
kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a) pemilik hak, b)
ruang lingkup penerapan hak, dan c) pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan
demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia
yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan dengan
instansi.[1]
Hak merupakan sesuatu yang
diperoleh. Dalam kaitan dengan pemerolehan hak paling tidak ada dua teori
yaitu teori McCloskey dan teori Joel Fenberg. Dalam teori McCloskey dinyatakan
bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, dinikmati atau
sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Fenberg dinyatakan bahwa pemberian
hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang abash(keuntungan yang didapat dari
pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian
keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila dsertai dengan pelaksanaan
kewajiban. Hal itu berarti antara hak dan kewajiban merupakan dua hal tidak
dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak
juga harus melakukan kewajiban.[2]
Istilah hak-hak asasi manusia dalam
beberapa bahasa asing dikenal dengan sebutan sebagai berikut : droit de l’home(Perancis) yang berarti hak manusia, human right (Inggris)
atau mensen rechten (Belanda), yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan
atau hak-hak asasi manusia.[3]
1.
Landasan yang langsung dan pertama,
yakni kodrat manusia. Kodrat manusia adalah sama derajat dan martabatnya. Semua
manusia adalah sederajat tanpa membedakan ras, agama, suku, bahasa, dan
sebagainya.
2.
Landasan yang kedua dan yang lebih dalam
: Tuhan menciptakan manusia. Semua manusia adalah makhluk dari pencipta yang
sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu dihadapan tuhan manusia ada sama
kecuali nanti pada amalnya.
Menurut Teaching Human Right yang
diterbitkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan
melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa
hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.[5]
Hak asasi manusia ini tertuang dalam
undang-undang (UU) No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Dalam salah satu
bunyi pasalnya (pasal 1) secara tersurat dijelaskan bahwa “hak asasi manusia
(HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.[6]
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian
HAM diatas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat
pada diri manusia yang bersifat qodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah
Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu,
masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan
terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui
aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
1.
B. Sejarah Lahirnya HAM
Pada umumnya para pakar HAM berpendapat
bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah babak baru bagi pelaksanaan HAM
yaitu jika raja melanggar hukum, ia harus di adili dan mempertanggung jawabkan
kebijaksanaannya kepada parlemen. Artinya sejak itu, sudah mulai dinyatakan
bahwa raja terikat dengan hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun
kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak berada ditangannya.
Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarki
konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.[7]
Lahirnya Magna Charta ini kemudian
diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill Of
Right di inggris pada tahun 1689. Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah
adagium yang intinya bahwa manusia sama dimuka hukum (Equality Before The
Law). Adagium ini selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi
Negara hukum dan domokrasi. Kehadiran Bill Of Right telah
menghasilkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat resikonya yang
dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.[8]
Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka
lahirlah teori “kontrak sosial” J.J. Rosseau. Setelah itu kemudian disusul oleh
Mountesquieu dengan doktrin trias politikanya yang terkenal yang mengajarkan
pemisahan kekuasaan untuk mencegah tirani. Selanjutnya jhon locke di inggris
dan Thomas Jefferson di AS dengan gagasan tentang hak-hak dasar kebebasan dan
persamaan.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai
dengan kemunculan the American declaration of independence di Amerika
Serikat yang lahir dari semangat paham Rosseau dan Monesquieu. Jadi sekalipun
di Negara kedua tokoh HAM itu yakni Inggris dan Perancis belum lahir rincian
HAM, namun telah muncul amerika. Sejak inilah mulai dipertegas bahwa manusia
adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk akal bila sesudah
lahir ia harus dibelenggu. [9]
Selanjutnya pada tahun 1789 lahir The French
Declaration, dimana hak-hak asasi manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang
kemudian menghasilkan dasar-dasar Negara hukum atau The Rule Of
Law,dalam dasar-dasar ini antara lain
dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alas an yang sah atau ditahan tanpa surat
perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya dinyatakan pula
asas presumpsion of innocence, yaitu bahwa orang-orang yang ditangkap
kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan ia bersalah.
Selanjutnya dipertegas juga dengan asas freedom of expression (kebebasan
mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan menganut keyakinan atau agama yang dikehendaki), the right of
property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya.[10]
Penting untuk diketahui bahwa The Four
Freedoms dari presiden Roosevelt yang dinyatakan pada 6 januari 1941, “pertama,
kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. Kedua, kebebasan
memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya. Ketiga, kebebasan
dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat
kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya. Keempat, kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan,
sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan
serangan terhadap tetangganya”.[11]
1.
C. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Secara garis besar menurut Prof. Dr.
Bagir Manan, dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di
Indonesia (2001), membagi perkembangan pemikiran HAM dalam dua periode, yaitu
periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan
(1945-sekarang).[12]
1.
Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode
ini dapat dijumpai dalam organisasi pergerakan sebagai berikut:
1.
Budi Oetomo, pemikirannya, “Hak
Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat”
2.
Perhimpunan Indonesia, pemikirannya “Hak
untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).”
3.
Sarekat Islam, “Hak penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dam diskriminasi rasial.”
4.
Partai Komunis Indonesia, pemikirannya,
“Hak sosial dan berkaitan dengan alat-alat produksi.”
1.
Periode Sesudah Kemerdekaan
(1945-sekarang)
2.
Periode 1945-1950. Pemikiran HAM pada
periode ini menekankan pada hak-hak mengenai:
1) Hak
untuk merdeka (self dtermination).
2) Hak
kebebasan untuk berserikat melalui organisasi polotik yang didirikan.
3) Hak
kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
1.
Periode 1950-1959. Pemikiran HAM
dalam periode ini lebih menekankan pada semangat kebebasan demokrasi liberal
yang berintikan kebebasan individu.
2.
Periode 1959-1966. Pada periode ini
pemikiran HAM tidak mendapat ruang kebebasan dari pemerintah atau dengan kata
lain pemerintah melakukan pemasungan HAM, yaitu hak sipil, seperti hak untuk
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pkiran dengan tulisan.
3.
Periode 1966-1998. Dalam periode ini,
pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga kurun waktu yang berbeda.Pertama, tahun 1967
berusaha melindungi kebebasan dasar manusia yang ditandai dengan adanya hak uji
materiil yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Kedua, kurun waktu
tahun 1970-1980, pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap defensive
(bertahan), represif (kekerasan), yang dicerminkan dengan produk hokum yang
bersikap restriktif (membatasi) terhadap HAM. Ketiga, kurun waktu
1990-an pemikiran HAM tidak lagi hanya bersifat wacana saja melainkan sudah
dibentuk lembaga penegakan HAM.
4.
Periode 1998-sekarang. Pada periode ini,
HAM mendapat perhatian yang resmi dari pemerintah dengan melakukan amandemen
UUD 1945 guna menjamin HAM dan menetapakn UNdang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia. Artinya bahwa pemerintah member perlindungan yang
signifikansi terhadap kebebasan HAM dalam semua aspek, yaitu aspek hak politik,
sosial, ekonomi, budaya, keamanan, hukum dan pemerintahan.[13]
1.
D. Macam-macam Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak manusia
yang dimiliki secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan.
Hak-hak tersebut mencakup antara lain : hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan
berpendapat, dan merdeka dari segala bentuk penindasan. Istilah Hak Asasi
Manusia itu sendiri berarti hak tersebut ditemukan dalam hakikat kemanusiaan
dan demi kemanusiaan. Karena itu setiap manusia memilikinya, dan hak itu tidak
dapat dicabut oleh siapapun bahkan oleh dirinya sendiri.[14]
Hak-hak asasi manusia yang banyak
jumlahnya itu biasanya dibagi dalam berbagai macam hak, yang cara pembagiannya
antara satu Negara dengan Negara yang lain berbeda-beda. Pada umumnya pembagian
hak asasi manusia itu adalah sebagai berikut :
1.
Hak-hak Pribadi atau Personal
Right, yang biasanya meliputi :
1.
Hak untuk memilih tempat tinggal
2.
Hak kebebasan bergerak dalam wilayah
Negara
3.
Hak meninggalkan negeri dan kembali ke
negeri sendiri
4.
Hak atas rahasia surat menyurat
5.
Hak memilih jodohnya dan sebagainya
6.
Hak-hak ekonomi atau Property Right, meliputi :
1.
Hak untuk memiliki suatu benda, membeli,
menjual, dan menggunakannya
2.
Hak untuk memilih pekerjaan yang
disukainya
3.
Hak mendapatkan pekerjaan yang layak
bagi kemanusiaan
4.
Hak untuk mendirikan atau memasuki
serikat kerja
5.
Hak untuk mendapatkan upah yang cukup
dan adil, dan sebagainya.
6.
Hak-hak perlakuan persamaan hokum atau
peradilan (Right Of Legal Equality), yang meliputi :
1.
Hak mendapatkan perlakuan hokum yang
sama di depan pengadilan
2.
Hak mendapat perlakuan jujurdala
perkaranya dari hakim yang tidak memihak
3.
Hak dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan kesalahannyadi depan hakim
4.
Hak tidak hukum yang mengakibatkan
kematian perdata, dan sebagainya
5.
Hak-hak politik atau Political Right, yang meliputi :
1.
Hak ikut serta dalam pemerintahan atau
menjabat suatu jabatan pemerintahan
2.
Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum
3.
Hak kebebasan berkumpul dan berapat
4.
Hak kebebasan mengeluarkan pendapat,
baik dengan lisan atau tulisan
5.
Hak ikut serta dalam pertahanan Negara
dan sebagainya
6.
Hak-hak sosial budaya atau Social and
Cultural Right, yang meliputi :
1.
Hak jaminan social bagi fakir miskin dan
anak-anak terlantar
2.
Hak mendapatkan derajat hidup yang layak
bagi kemanusiaan
3.
Hak mendapat jaminan social di hari tua
4.
Hak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran
5.
Hak kebebasan melakukan pekerjaan social
dan amal
6.
Hak kebebasan memberikan pengajaran dan
pendidikan yang disukainya
1.
E. HAM dalam Tinjauan Islam
Islam sebagai sebuah agama dengan
ajarannya yang universal dan komprehensif meliputi akidah, ibadah, dan
mu’amalat, yang masing-masing memuat ajaran tentang keimanan; dimensi ibadah
memuat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah dan ajaran
tentang hubungan manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar.
Kesemua dimensi ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang disebut
syari’at atau fikih. Dalam konteks syari’at dan fikih itulah terdapat ajaran
tentang hak asasi manusia (HAM).
Adanya ajaran tentang HAM dalam islam
menunjukkan bahwa islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk
terhormat dan mulia. Karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia
merupakan tuntutan dari anjuran islam itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh
umatnya tehadap sesame manusia tanpa kecuali.[16]
Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati
yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut
atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan oleh
Allah itu bersifat permanen, kekal, dan abadi. Tidak boleh diubah atau
dimodifikasi. Dalam islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (haq
al insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain.
Hak Allah melandasi hak manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak
ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya shalat.[17]
Dilihat dari tingkatannya ada 3 bentuk
hak asasi manusia dalam Islam. Pertama, hak darury (hak dasar). Kedua,hak sekunder (hajy). Ketiga, hak tersier (tahsiny).[18]
1.
Hak hidup, kemerdekaan, dan keamanan
pribadi
2.
Hak berpendapat
3.
Hak berserikat dan berkumpul
4.
Hak beragama atau memeluk suatu agama
5.
Hak mendapatkan suatu pekerjaan
6.
Hak mendapatkan pendidikan
1.
IV. KESIMPULAN
Menurut Teaching Human Right yang
diterbitkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB), hak asasi manusia adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan
melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa
hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.
Para pakar HAM berpendapat bahwa
lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah babak baru bagi pelaksanaan HAM
yaitu jika raja melanggar hukum, ia harus di adili dan mempertanggung jawabkan
kebijaksanaannya kepada parlemen.
Secara garis besar menurut Prof. Dr.
Bagir Manan, dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia
(2001), membagi perkembangan pemikiran HAM dalam dua periode, yaitu periode
sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan
(1945-sekarang).
1.
V. PENUTUP
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada
Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayat, serta inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, semoga uraian-uraian yang kami
sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan para
pembaca.
Kami menyadari makalah ini masih kurang
sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang konstruktif sangat membantu dalam
kesempurnaan makalah ini. Kami berdo’a kepada Allah semoga Allah meridhoi
makalah ini. Amin . . . . . .
DAFTAR PUSTAKA
Al Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD’ 45 dalam
Paradigma Reformasi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2001
Dalizar, Hak Asasi Menurut Al-Qur’an, Jakarta : Percetakan Mutiara Sumber Widya, 1995
Effendi, M., Falsafah
Negara Pancasila, Semarang : BP. Walisongo Press, 1995,
cet. 4
Rosyada, Dede, dkk., Pendidikan Kewargaan
(Civic Education), Jakarta : Prenada Media, 2005, cet. 2
Savitri, Niken, HAM
Perempuan, Bandung : PT. Refika Aditama, 2008,
cet. 1
Srijanti, dkk, Pendidikan
Kewarganegaraan, Jakarta: Graha Ilmu, 2009, cet. 1
Ubaidillah, A. dkk., Pendidikan
Kewargaan (Civic Education), Jakarta : IAIN jakarta press,
2000, cet. 1
, Pendidikan
Kewargaan (Civic Education), Jakarta : ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2007, cet. 3
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan
Kewarganegaraan, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007, cet.
1
[1] Dede Rosyada, dkk., Pendidikan
Kewargaan (Civic Education), (Jakarta : Prenada Media,
2005), cet. 2, hlm. 199
[3] Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD’ 45 dalam
Paradigma Reformasi, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2001), hlm. 83.
[4] Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007), cet. 1, hlm. 129
[5] A. ubaidillah, dkk., Pendidikan
Kewargaan (Civic Education), (Jakarta : ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2007), cet. 3, hlm. 252
[7] A. Ubaidillah, dkk., Pendidikan
Kewargaan (Civic Education), (Jakarta : IAIN jakarta press,
2000), cet. 1, hlm. 208
[15] M. Effendi, Falsafah
Negara Pancasila, (Semarang : BP. Walisongo Press,
1995), cet. 4, hlm. 134-135
[19] Dalizar, Hak Asasi Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Percetakan Mutiara Sumber Widya, 1995), hlm. 17