1. Pengertian
Asas Diskresi
Banyak
pakar hukum yang memberikan definisi asas diskresi, menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir
discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan
suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet
matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas.
Menurut Prof. Benyamin, diskresi
didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut
pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik
memiliki kewenangan diskresi. Selanjutnya Gayus
T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut:“Diskresi adalah
kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan
pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang,
dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah
kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB).”
Mengenai
definisi tersebut diatas, selanjutnya Gayus T. Lumbuun menjelaskan bahwa secara hukum mungkin orang yang menggunakan
asas diskresi tersebut melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar
kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana)
dan itu bukan pelanggaran tindak pidana. Sedangkan definisi diskresi
menurut Sjachran Basah seperti
dikutip oleh Patuan Sinaga, adalah:
”…,
tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai…, melibatkan administrasi negara
di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat kompleks, luas
lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara
memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan walaupun demikian
sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral
maupun hukum”.
Berdasarkan
definisi yang diberikan oleh Syachran
Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu
diskresi adalah:
a. Ada
karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh
administratur negara;
b. Dalam
menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan
dalam menentukan kebijakan-kebijakan;
c. Kebijakan-kebijakan
tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.
Dengan
demikian diskresi muncul karena adanya
tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham
negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara
kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf
keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan
bernegara yang hendak dicapai. Untuk
mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan
dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal
tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk
mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan
perundang-undangan(rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan
bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan
bertindak yang seringkali disebut fries ermessen(Jerman)
ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
2. Batas Toleransi Diskresi
Kebebasan
bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya
menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang
lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu
terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman
yang diberikan oleh Sjahran Basah sebelumnya, yaitu adanya kebebasan atau
keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk
itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.
Jika
kita berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka diskresi akan terkait dengan
permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi, maka subyek yang berwenang untuk membuat suatu
diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif.
Argumentum yang dikedepankan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa
eksekutiflah yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh
karena itu diskresi hanya ada di lingkungan pemerintahan (eksekutif).
Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan
perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah
memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat
penetapan, dan lain-lain.
Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh
aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:
a. Apabila
terjadi kekosongan hukum;
b. Adanya
kebebasan interprestasi;
c. Adanya
delegasi perundang-undangan;
d. Demi
pemenuhan kepentingan umum.
Selanjutnya
mengenai apakah diskresi perlu diatur atau dibatasi Pakar Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Prof. Bintan R.
Saragih berpendapat bahwa diskresi tidak perlu diatur atau dibatasi karena
sudah ada pertanggungjawabannya sendiri baik secara moral maupun hukum.
Ditambahkan lagi oleh Prof. Bintan R. Saragih, bahwa pengaturan mengenai
diskresi pejabat hanya lazim digunakan pada sistem parlementer, sementara sistem presidensial lebih
menggunakan kebiasaan.
Penerapan Asas Diskresi Dalam Pembuatan Keputusan
Tata Usaha Negara
Keputusan
Tata Usaha Negara, disamping keputusan pelaksanaan (ececutive
dececion atau gebonden beschikking) juga ada yang disebut dengan
keputusan bebas (discretionary decision atau Vrije beschikking). Keputusan bebas ini biasa kita kenal dengan
istilah asas diskresi atau freis ermessen. Aparat pemerintah (eksekutif)
dalam pelaksanaan fungsinya (struktural maupun fungsional) dapat melakukan suatu tindakan berupa membuat suatu keputusan
(beschikking) meskipun hal tersebut belum diatur secara tegas atau bertentangan
dengan undang-undang.
Menurut
Prof. Muchsan, asas diskresi harus
berlandaskan pada 2 (dua) hal yaitu Landasan
Yuridis dan Kebijakan. Kebijakan
disini dibagi menjadi dua kategori, pertama kebijakan yang bersifat mutlak (absolut) yang kedua yaitu kebijakan yang bersifat
tidak mutlak (relatif), hal ini dapat terjadi karena hukumnya tidak jelas.
Berikut ini penulis memberikan contoh diskresi
positif yang dilakukan oleh aparat pemerintah:
“Di
sebuah perempatan, kondisi jalanan macet, arus dari arah A terlalu padat
sementara arah sebaliknya (arus B) lengang. Polisi kemudian memberi instruksi
kepada pengendara dari arus A untuk terus berjalan walaupun lampu lalu lintas
berwarna merah.”
Jika
kita melihat contoh diatas, maka diskresi tetap dapat digunakan dengan tujuan
untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan bernegara
tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya
keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan
pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh
menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan
peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya
keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu
kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman)
ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Literatur:
1. Hardjon,
Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1997.
2. Marbun,
SF. ed, Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, 2001.
3. Diskresi
Pejabat Sulit Dicari Batasannya,http://www.hukumonline.com, diakses
tanggal 11 maret 2008.
4. Gayus
T. Lumbuun, Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi
Pejabat Publik, http://www.hukumonline.com, diakses
tanggal 16 maret 2008.
5. Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar