Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh
para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan
hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh
suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak member
dasar-dasar yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh
para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam
proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat,
tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa
yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas
lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah
satu tata cara beracara dalam hukum acara perdata. sebelumnya harus diketahui
bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut,
didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara
Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan
peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak. Kebenaran yang diperoleh
dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada
hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim,
diantaranya :
a. Peristiwanya
memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh
hakim.
b. Hakim secara
ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan
lebih lanjut.
c. Pengetahuan
tentang pengalaman.
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang
Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu
hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.”
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang
telah dikecualikan diatas, Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal
mempunyai arti yuridis
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam
acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum
dalam HIR dan Rbg adalah hokum pembuktian yang materiil maupun formil.
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan
maka yang harus dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata
haruslah menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan
hokum terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang
ada tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim
tidak boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim
tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada
pemeriksaan oleh hakim.
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3
Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut,
atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut.
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa
adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah
yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa
gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan
mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal
hak orang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR.
163)”
Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah
pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian.
Terutama penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang
tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Dalam hal
ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman
bagi hakim.
1. Teori
Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya
dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah
pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn
sunt probanda).
2. Teori Hukum
Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu
selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan
hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak
harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865
Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa
untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
3. Teori Hukum
Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan
berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan
ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
4. Teori Hukum
Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa
didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
5. Teori Hukum
Acara
Asas audi et alteram atau juga asas
kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan
asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti
tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai
macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan
saksi ahli.
2. Macam-macam
Alat Bukti
Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat
bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.
2.1 Pengertian Alat Bukti dan
Perkembangannya.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki
macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan
dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan.
Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan
penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat
membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang
mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu.[11] Hukum
pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis
alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan
(hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam
proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah menentukannya secara
enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain
hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda, telah
terjadi perpindahan pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum
pembuktian kea rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak
lagi ditentukan secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui
bukti-bukti tertentu saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat bukti
apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak mertentangan
denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat
bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum
pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di
beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih
berpegang pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani
melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan
Undang-Undang.
2.2 Macam-macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim
terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh
memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh
undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat
bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a. Alat
bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang
suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata
dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama adalah surat ialah sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi
dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta
sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta
dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat
bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu
hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi
untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang
untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa
akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut
pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak
berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta
tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik;
namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja
dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH
Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a. Tulisan atau
akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b. Tidak dibuat atau
ditandatangani pihak yang berwenang.
c. Secara khusus ada
akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua
pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan
termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan
surat pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta
pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal
1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
a. Seluruh
isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
b. Atau paling
tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya,
ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis
yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti
aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat
bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap
tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.
c. Alat
bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152,
168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah
kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang
diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
d. Alat bukti
persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh
undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum
ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang
berarti dugaan atau presumptive
e. Alat
bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR
pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928.
Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak,
karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena
pengakuan secara diam-diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang
kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi
kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.
f. Alat
bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan
atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang
memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong.
Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam
persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat
bukti lain.
g. Pemeriksaan
setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum
pembuktian adalah pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk
alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan
setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud
sebagai berikut :
a. Proses
pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat
dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.
b. Persidangan
ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat
barang itu terletak.
c. Dan yang
melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota Majelis yang bersangkutan
dibantu oleh seorang panitera.
h. Saksi
ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari
yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang
dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah
orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson
menyebut, “specialized are as of knowledge”.
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :
a. Memiliki
pengetahuan khusus atau spesialisasi
b. Spesialisasi
tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
c. Sedemikian
rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta melebihi
kemampuan umum orang biasa (ordinary people).
Dari pengertian diaatas tidak semua orang
dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang
diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.
Kesimpulan
- Dijelaskan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur
dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan
haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya
hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
- Yang
mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam
perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
- Alat
bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya,
yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan
tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan
penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian, pihak mana yang
paling sempurna pembuktiannya.
- Macam-macam
Alat Bukti
a. Alat
bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang
suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata
dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi
dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta
sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta otentik dan akta
dibawah tangan.
b. Alat bukti
kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152,
168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
c. Alat
bukti persangkaan
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh
undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum
ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
d. Alat bukti
pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR
pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah
keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
e. Alat
bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan
atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang
memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong.
Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam
persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat
bukti lain.
f. Pemeriksaan
setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum
pembuktian adalah pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk
alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan
setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR
g. Saksi ahli/Pendapat
ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari
yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang
dikaitkan dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah
orang yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson
menyebut, “specialized are as of knowledge”. Dari pengertian
diaatas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika
dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai
dengan bidang yang disengketakan.